Open top menu
Apa sih GIPS Community itu?? Mereka yang peduli, Pejuang-pejuang Sosial Uluran tangan untuk mereka yang membutuhkan Lebih dekat, Lebih bermanfaat
Kamis, 06 Agustus 2015
Rabu, 05 Agustus 2015
Bukan Cerita CFS #01 (Part 1)

Siang itu, di sebidang tanah yang sedang ditanami panggung temporer nampak sepi, sedikit manusia, hanya ada beberapa diantaranya bersorak-sorak menghibur para penghibur di atas panggung. Beberapa manusia lainnya hanya melihat sejenak sambil tetap mengobrol sendiri atau bersama teman yang sedari tadi mengomentari apa yang dilakukan oleh orang-orang tadi di sekitaran tanah tersebut. 

Lupakan sejenak cerita tentang tanah tadi, dari kejauhan rupanya ada beberapa mata yang saling berpasang-pasangan namun tidak bergandeng-gandengan. Mereka adalah mata-mata milik manusia, yang konon nantinya akan menjadi orang-orang yang "berdiam, bepikir, dan bergerak" diantara bias tawa dan air mata kehidupan.

Menghindar dari keramaian yang sepi, mata-mata tadi dibawanya oleh para pemilik mereka ke satu tempat yang lebih jauh, lebih teduh, namun tidak lebih sepi. Duduklah para pemilik mata tersebut, untuk minum, sekedar melanjutkan tradisi orang-orang jahiliah yang membicarakan hal-hal yang tidak penting sambil "berdiam". 

Tapi, itu hanyalah awalnya saja, dari hal-hal yang tidak penting lambat laun menjadi obrolan yang semakin carut-marut. Hingga pada akhirnya, terbukalah dokumen-dokumen kemanusiaan dan kebaikan di dalam memori otak yang sulit dikontrol, tak semudah membuka file di komputer. Seketika perbincangan pun semakin panas, karena suhu pada siang itu lebih dari 120 derajat Delisle pastinya.

Diangkatnya satu topik perbincangan konyol oleh para pemilik mata yang masih kehausan sambil mengemil jajanan ringan yang disediakan di tempat teduh tadi. Walaupun tidak ada yang memperhatikan obrolan tersebut karena keasyikan masing-masing. Kaler dan kidul pun sudah ditempuh selama perbincangan itu. Mungkin tinggal beberapa lagi dari keseluruhan alpabet telah diucapkan oleh para pemilik mata yang kehausan akan solusi dari fenomena yang mereka resahkan.

Kesenjangan sosial, satu topik yang sengit tak kunjung usai selama beberapa menit lalu didebatkan. Diantara "berpikir"nya para pemilik mata tersebut, keresahan terhadap kesenjangan sosial yang terjadi menjadi kumpulan persoalan yang semakin menusuk ke dalam pikiran mereka. Fenomena tentang orang-orang yang lelah menguras air matanya karena membutuhkan bantuan. Sedangkan disisi lain orang-orang sedang tertawa lepas karena kebahagiaan yang dimilikinya, menatap atap sambil menikmati segelas air minum berasa penuh aroma memikat.

Adapun disisi lain, sebagian orang yang melek terhadap air mata orang-orang yang membutuhkan, dengan otomatis menggunakan fungsi otaknya untuk berpikir secara ekonomis. Melakukan kebaikan dengan cara membantu dari segi finansial namun menggunakan nominal yang tidak maksimal. Sebut saja penggunaan receh. Receh atau uang koin seringkali dijadikan amunisi dalam melakukan kebaikan yang setengah-setengah. Mengapa harus menggunakan amunisi murahan jika mampu mengeluarkan amunisi yang berkualitas dan pantas?

Kemudian daripada itulah muncu keinginan untuk "bergerak", membantu orang-orang yang membutuhkan, dengan cara.... Melakukan satu tindakan nyata bukan NATO belaka, simple, direct, dan meaningful. Memangnya apa yang (akan) dilakukan oleh para pemilik mata yang lantang bergerak menembus garis mainstream tersebut? 

Sebuah rencana omong kosong tentang membantu orang-orang yang membutuhkan diucapkan begitu saja oleh salah seorang pemilik mata yang memiliki helai rambut tak terhitung banyaknya. Salah satu jalan yang ditunjukan oleh Tuhan pada cerita kehidupan sebelumnya, membuat pemilik mata berhelai rambut tak terhitung tadi menggagas satu rangkaian konsep untuk mewujudkan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan.

Tiga hal, tiga cerita, tiga cara, tiga bagian, dan tigalah saatnya untuk memulai satu naskah kehidupan. Cerita tentang muda-mudi yang berkumpul untuk berkarya dan berprestasi, cerita sebagian orang-orang yang mengumpulkan uang untuk pendidikan, dan cerita para kaum hawa yang membantu orang yang kelaparan, menjadi inspirasi tersendiri bagi pemilik mata berhelai rambut tak terhitung untuk melakukan awal kebaikan.

Didapatkannya cerita-cerita tersebut dari pengalaman langsung pada salah satu kegiatan obrolan penting dan berkualitas di daratan ibukota Nusantara, yang kemudian dijadikannya satu simpulan seperti dalam soal bahasa maupun matematika.

Bahwasanya melakukan kebaikan yang mudah dan bermakna dapat diwujudkan dengan cara mengumpulkan orang-orang yang peduli terhadap kehidupan sosial, kemudian menggalang dana dengan cara yang tidak biasa, lalu disalurkan kepada orang-orang yang membutuhkan.

Dari situlah terbesit satu rangkaian nama tiga kata, Coin For Social. Sebuah kegiatan penyaluran bantuan makanan kepada orang yang membutuhkan, melalui pengumpulan koin atau receh oleh orang-orang yang peduli terhadap lingkungan sosial tempat dimana mereka tinggal.


Read more